Sabtu, 26 Februari 2011

Di mana Quran Syiah?


Apakah Syi’ah memiliki Al-Qur’an sendiri, yang berbeda dengan Al-Qur’an yang ada pada umat Islam saat ini? Jika Al-Qur’an itu memang ada, lalu kemana? Bukankah Al-Qur’an sekarang ini adalah Al-Qur’an yang diakui oleh Syi’ah, dengan bukti bahwa Al-Qur’an di Iran adalah sama dengan Al-Qur’an yang ada?

Al-Qur’an yang ada sekarang di Iran memang sama dengan Al-Qur’an cetakan Saudi, maupun Al-Qur’an yang dicetak oleh percetakan di Indonesia. Sama persis, tidak ada bedanya. Dengan tegas Syi’ah menyatakan: Al-Qur’an kami adalah sama dengan Al-Qur’an yang ada saat ini, buktikan jika memang ada Al-Qur’an Syi’ah yang berbeda!

Namun di sisi lain kita temukan lebih dari seribu riwayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada hari ini ternyata telah mengalami perubahan, bukan lagi Al-Qur’an yang murni asli seperti yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Riwayat-riwayat ini begitu banyaknya sehingga tidak bisa lagi dipungkiri oleh Syi’ah sendiri, ini jika mereka memang mau melihat lagi dari kitab-kitab mereka. Namun sepertinya ada upaya sistematis untuk menjauhkan Syi’ah dari kitab-kitab induk, agar Syi’ah yang awam tidak mudah untuk mengetahui hakekat madzhab Syi’ah. Nah di sinilah kami mengambil peranan untuk menguak isi kitab-kitab Syi’ah, yang disembunyikan selama ini dari masyarakat banyak. Pembahasan mengenai hal ini dapat anda simak dalam makalah Al-Qur’an Di Mata Syi’ah.

Di sini ada dua pendapat yang bertolak belakang, yaitu pendapat ulama Syi’ah hari ini, beserta ustadz-ustadz Syi’ah, yang tentunya diikuti oleh kalangan awam Syi’ah juga, yaitu Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam hari ini adalah Al-Qur’an yang asli. Mereka juga menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan perubahan Al-Qur’an adalah palsu. Ini artinya ribuan riwayat itu, yang tentunya lebih nilainya dari sekedar mutawatir, semuanya tidak berguna, dan palsu. Di sini kita mengalami kebingungan, yaitu standar apa yang digunakan oleh Syi’ah dalam menilai suatu hadits? Mengapa riwayat yang begitu banyak bisa dibilang palsu? Mengapa dibilang palsu? Hal ini telah dibahas pada makalah sebelumnya dengan tema; Bagaimana mengikuti Ahlul Bait, jangan anda lewatkan.

Mengapa riwayat yang jumlahnya begitu banyak dengan mudah bisa ditolak?

Selain itu mereka juga memberikan bukti dari empat orang ulama Syi’ah masa lalu yang menolak adanya perubahan Al-Qur’an, namun di sini kita patut heran bagaimana pendapat dari empat orang ulama bisa mengalahkan pendapat yang sudah mencapai derajat ijma’. Kita akan membahas masala ini panjang lebar pada kesempatan lain Insya Allah.

Namun ada satu hal yang perlu diketahui oleh pembaca, yaitu Al-Qur’an yang ada saat ini di tengah kaum muslimin adalah Al-Qur’an milik Ahlus Sunnah. Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena seluruh perawi Al-Qur’an adalah bukan dari golongan Syi’ah, terutama para sahabat Nabi, seperti kita ketahui pengumpulan Al-Qur’an dalam satu jilid seperti yang ada saat ini adalah hasil prakarsa Utsman bin Affan, begitu juga dari sahabat-sahabat lain yang mengajarkan Al-Qur’an pada para tabi’in, seperti Abu Abdurrahman As Sulami, yang menjadi sumber bagi riwayat Hafs dari Ashim, riwayat Al-Qur’an yang dibaca oleh kebanyakan kaum muslimin hari ini. Begitu juga riwayat-riwayat lainnya, yaitu yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, seluruh perawinya adalah Ahlus Sunnah, tidak ada yang meyakini 12 imam Syi’ah.

Sedangkan sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi adalah jelas, yaitu mereka diklaim telah mengkhianati Ali bin Abi Thalib yang semestinya diangkat jadi khalifah. Para sahabat malah “bersekongkol” mengkhianati wasiat yang diucapkan Nabi pada hari Ghadir Khum terkait pembaiatan Ali sebagai khalifah. Artinya dalam pandangan Syi’ah, sahabat Nabi adalah pengkhianat, dianggap sebagai musuh oleh Syi’ah.

Pembaca mestinya heran, mengapa tidak ada penganut Syi’ah di masa lalu, bahkan para imam Syi’ah sendiri tidak meriwayatkan Al-Qur’an dari jalur Syi’ah, yaitu perawi yang seluruhnya bermadzhab Syi’ah. Artinya madzhab Syi’ah yang konon adalah madzhab yang benar, agama Islam yang “asli” malah tidak punya Al-Qur’an, apakah para imam Syi’ah tidak memperhatikan Al-Qur’an, hingga mereka tidak meriwayatkannya dari jalur “orang-orang terpercaya”?

Saya katakan: Dalil yang menunjukkan bahwa Abu Bakar, Umar dan orang yang sejalan mereka dengan mereka adalah kafir, juga menunjukkan pahala melaknat dan memusuhi mereka, yang menunjukkan bid’ah mereka, terlalu banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau berjilid-jilid buku, apa yang telah kami nukilkan di atas cukup bagi orang yang diberi petunjuk Allah ke jalan yang lurus. (Biharul Anwar, jilid. 30, hal. 399).
Pernyataan Syi’ah bahwa Al-Qur’an hari ini adalah Al-Qur’an yang asli, bertentangan dengan dengan isi kitab Syi’ah sendiri, tetapi mengapa pernyataan ini keluar dari para ustadz? Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama, para ustadz itu tidak pernah mengakses kitab-kitab literatur induk Syi’ah sendiri, dan yang kedua, para ustadz itu mengatakan yang tidak sebenarnya. Begitu pula pengakuan bahwa Al-Qur’an hari ini adalah Al-Qur’an yang asli, mengandung pengakuan Syi’ah tentang validitas para sahabat Nabi, hingga periwayatannya diterima oleh Syi’ah sendiri. Sikap positif terhadap sahabat Nabi pada hakekatnya berlawanan dengan ajaran Syi’ah sendiri, karena bagaimana Syi’ah bisa bersikap positif pada sahabat, pada mereka yang dianggap mengkhianati Ali? Di sini kita kasihan pada madzhab Syi’ah karena menggunakan Al-Qur’an milik madzhab lain, mestinya Syi’ah berterima kasih pada Ahlus Sunnah, karena telah berhutang budi sekian lama.

Jika riwayat-riwayat Syi’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini telah diubah, lalu ke mana Al-Qur’an yang asli? Pertanyaan ini sudah semestinya muncul di benak kita semua. Namun pembaca tidak perlu bingung, karena jawaban pertanyaan ini telah ada dalam kitab rujukan Syi’ah, yaitu; Al-Kafi, jilid. 2, hal. 633, riwayat no. 23.

Muhammad bin Yahya, dari Muhammad bin Husein, dari Abdurrahman bin Abu Hasyim, dari Salim bin Salamah, mengatakan: seseorang membacakan pada Abu Abdullah dan saya mendengar huruf-huruf Al-Qur’an yang tidak seperti yang dibaca oleh orang banyak, lalu Abu Abdullah berkata: jangan baca dengan bacaan ini, bacalah Al-Qur’an seperti orang lain sampai datangnya Al Qaim, jika Al-Qaim 'Alaihis salam telah datang, dia akan membaca Kitab Allah dengan benar, dan mengeluarkan mushaf yang ditulis oleh Ali Alaihissalam dan [Abu Abdullah] mengatakan:

Ali memperlihatkan Al-Qur’an itu pada manusia setelah selesai menuliskannya, dan berkata pada mereka: inilah kitab Allah seperti yang diturunkan oleh Allah pada Muhammad saw, telah aku kumpulkan menjadi satu jilid, lalu mereka berkata: kami juga memiliki kitab Al-Qur’an, kami tidak perlu Al-Qur’an yang kau bawa. Ali berkata: sungguh demi Allah kalian tidak akan melihatnya setelah hari ini, aku hanya memperlihatkannya pada kalian setelah selesai kukumpulkan, agar kalian membacanya.

Riwayat ini jelas menyebutkan adanya Al-Qur’an lain yang dikumpulkan oleh Ali, yang isinya berbeda dengan Al-Qur’an yang ada di tangan para sahabat saat itu, dan ketika Ali memperlihatkan pada para sahabat, mereka menolaknya. Lalu Ali pun menyembunyikan Al-Qur’an yang berisi petunjuk jalan yang lurus, agar tidak dibaca oleh para sahabat, dan hanya diedarkan di kalangan para imam dan pengikutnya saja. Hingga akhirnya para sahabat tidak berkesempatan untuk melihat Al-Qur’an yang asli, dan berpegang teguh pada Al-Qur’an yang palsu, yang ada di tangan para sahabat. Ketika ada pengikut imam yang membaca isi Al-Qur’an asli, maka oleh imam diingatkan, dan diperintahkan untuk membaca Al-Qur’an yang “tidak asli” sampai nanti munculnya Al Qaim.

Artinya, hari ini Syi’ah tidak memiliki Al-Qur’an yang asli, tetapi meminjam Al-Qur’an dari penganut Ahlus Sunnah. Apakah ini pengakuan bahwa madzhab Ahlus Sunnah adalah madzhab yang benar? Atau mereka menganggap Ahlus Sunnah sesat tapi mereka mau menerima periwayatannya? Sungguh aneh, mestinya jika Ahlus Sunnah sesat, maka riwayat haditsnya juga tidak boleh dipercaya, tetapi demi kepentingan Syi’ah, tidak mengapa untuk berkontradiksi, dan mengambil riwayat Al-Qur’an dari Ahlus Sunnah, orang-orang yang tidak percaya pada imamah, yang merupakan ushuluddin terpenting bagi Syi’ah.

Jika Al-Qur’an yang asli tidak ada di dunia ini, alias tersembunyi di tangan sang imam yang juga bersembunyi, maka hadits yang dikenal dengan nama tsaqalain, dan menjadi pedoman utama Syi’ah untuk mengklaim bahwa madzhab Syi’ah adalah paling benar, yang berisi perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan sunnah Nabi, menjadi tidak berlaku lagi, karena tidak bisa diamalkan. Bagaimana bis mengamalkan Al-Qur’an, wong Ali sudah bersumpah bahwa kita tidak bisa melihatnya lagi sampai munculnya imam Mahdi. Begitu juga mengikuti Ahlul Bait, juga tidak bisa dilakukan oleh Syi’ah, karena Ahlul Bait Nabi, yang mana bagi Syi’ah adalah 11 imam plus Fatimah, sudah berlalu, dan imam zaman sekarang yaitu imam Mahdi, bersembunyi membawa Al-Qur’an, artinya Ahlul Bait Nabi bersembunyi bersama Al-Qur’an, Tsaqalain yang harus diikuti malah bersembunyi, bagaimana bisa diikuti?

Sampai saat ini kita belum pernah mendapat penjelasan dari ulama Syi’ah tentang dhaifnya redaksi hadits ini, begitu juga matannya. [hakekat/Syiahindonesia.com].

Khamis, 24 Februari 2011

Saman trafik adalah riba yang dihalalkan di Malaysia




Oleh: waksab

"Tawaran diskaun saman kurangkan beban rakyat: Hishammuddin
2010/12/01

PUTRAJAYA: Tawaran diskaun bagi semua saman trafik yang bermula hari ini adalah bagi meringankan beban rakyat, kata Menteri Dalam Negeri, Datuk Seri Hishammuddin Hussein.

Beliau berkata, keputusan itu dibuat selepas kerajaan mengambil kira rintihan orang ramai berhubung perkara itu dan ia juga selaras dengan saranan pucuk pimpinan "Rakyat Didahulukan".
"Kita mendengar rintihan daripada orang ramai yang mengatakan ada notis yang dihantar tidak sampai kepada tuannya.

"Kita juga mendengar bahawa pengurangan saman jika tidak diberikan kelonggaran dan sebagainya, ada kes-kes tertentu yang (boleh menimbulkan) tidak adil.

"Tetapi yang paling penting kita menyampaikan mesej yang jelas iaitu yang salah tetap salah (yang melanggar peraturan jalan raya)," katanya kepada pemberita selepas menghadiri sambutan Hari Imigresen di Jabatan Imigresen, di sini hari ini.

Beliau berkata demikian ketika diminta mengulas mengenai rasional tawaran kadar kompaun yang munasabah bagi semua saman trafik mengikut beberapa syarat yang ditetapkan mulai hari ini.

Semalam, Polis Diraja Malaysia (PDRM) menerusi laman Facebook miliknya, menyebut semua saman yang dikeluarkan pada atau sebelum semalam, kadar munasabah akan diberikan secara automasi melalui semua kaedah bayaran iaitu kaunter PDRM, pejabat pos dan internet.
Ditanya sama ada keputusan itu berkaitan dengan pilihan raya umum akan datang, Hishammuddin berkata keputusan mengenai pilihan raya hanya akan ditentukan oleh Perdana Menteri, Datuk Seri Najib Razak.

"Semua perkara yang kita buat adalah proses yang kita lakukan selepas mengadakan perbincangan yang sedalam-dalamnya. Tidak berkisar dengan politik," katanya.

Mengenai dua syarikat berpangkalan di Malaysia yang dinamakan oleh Amerika Syarikat sebagai firma yang dikawal oleh rangkaian Iran untuk membeli teknologi peluru berpandu dari China, Hishammuddin berkata siasatan akan dilakukan jika berkaitan dengan undang-undang dan keselamatan.

Katanya, ini kerana teras perkhidmatan kementerian ialah untuk memastikan keselamatan dan keamanan negara terjamin. - BERNAMA
-----------------------------------------------------------------------------------

Riba Dalam Islam
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.

Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.

Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.

Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.

Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:

Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).

Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).

Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).

Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).

Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:

“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).

Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).

Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”

Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)

Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).

Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.

Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).

5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.


Dari sudut ekonomi, Yahudi telah mencipta sistem ekonomi kapitalis yang berasaskan riba. Hari ini seluruh sistem kewangan dunia tidak terlepas dari riba. Yahudi sangat mengkaji bahawa riba adalah diharamkan di dalam Islam kerana ia sangat merosakkan, menindas dan menzalimi manusia. Oleh itu digunakan sistem ini dalam jaringan perangkap ekonomi kapitalis mereka hinggakan seluruh sistem kewangan dunia mesti berasaskan riba. Seolah-olah sudah tidak ada jalan keluar dari jaringan ini. Tetapi pada waktu yang sama mereka sendiri tidak mengamalkan sistem kapitalis tersebut. Mereka tidak menghisap darah sesama mereka sendiri tetapi menghisap darah orang lain. Mereka sendiri tidak mengamalkan riba dalam urusan perniagaan mereka kerana mereka cukup tahu tentang bahaya riba.

Cuba kita lihat bagaimana mereka menggunakan jaringanekonomi kapitalis untuk menakluk negara-negara di dunia.Yahudi menubuhkan Tabung Kewangan Antarabangsa (IMF)yang bertujuan memberi pinjaman dan dana kepada negaranegara yang memerlukan. Bagi memastikan negara-negara yang menjadi target mereka masuk ke perangkap mereka,maka Yahudi pun membuat serangan ekonomi dalam bentuk
serangan mata wang ke atas negara-negara yang menjadi sasaran mereka terutama negara di sebelah Timur.

Yahudisangat mengkaji jadual kebangkitan Islam kali kedua dan mereka tahu ia akan bermula dari Timur. Cuma mereka tidak pasti Timur itu merujuk kepada negara mana. Jadi di antaracara halus untuk menyekat kebangkitan ini ialah dengan membuat serangan besar-besaran melalui spekulasi matawang dan lain-lain bagi melumpuhkan ekonomi negara di sebelah timur dengan harapan bila ekonomi lumpuh, maka kebangkitan Islam itu walaupun tidak dapat dihalang tetapi sekurang-kurangnya dapat dibendung.

Apabila negara-negara sasaran itu telah lumpuh ekonominya maka mereka akan datang meminta sedekah dari IMF seperti yang dilakukan oleh Indonesia, Thailand, Korea dan lain-lain. Kadangkala belum sempat negara-negara tersebut meminta bantuan, mereka terlebih dahulu menawarkan skim-skim bantuan pemulihan. Kononnya atas dasar perikemanusiaan tetapi sebenarnya di situlah peluang mereka untuk mencatur dan memerangkap negaranegara berkenaan supaya tunduk pada kehendak mereka.

Berbagai syarat dikenakan yang menguntungkan mereka dan merugikan negara yang menjadi mangsa. Di waktu itu oleh kerana keadaan sudah terdesak, sudah tidak ada pilihan lain, maka terpaksalah negara-negara malang ini akur dengan kehendak musuh walaupun terpaksa mengorbankan maruah bangsa, negara dan agama sekalipun.

Hal ini bukannya tidak disedari oleh negara-negara yangmenjadi mangsa, tetapi apabila sudah termasuk dalam perangkapdan jerat musuh, mengikut kaedah aka1 hampir mustahilakan dapat lepas lagi. Apa yang dilakukan oleh mereka inibagaikan seorang pemimpin yang zalim. Di malam harinyadia mengarahkan orang-orangnya merobohkan rumah-rumahrakyat manakala di siang harinya pula dia akan memanggilmangsa-mangsa tersebut dan menghulurkan bantuan kononnyaatas dasar simpati tetapi dikenakan berbagai syarat untukmemastikan orang-orang itu berada di dalam genggamannya.

Ahad, 20 Februari 2011

TARIKH TERDEDAHNYA KITAB-KITAB SYI’AH KEPADA UMUM





Di akhir-akhir zaman kesultanan Delhi di India, terlalu banyak buku-buku Syi'ah disebarkan, ceramah-ceramah juga dilancarkan dengan meluas oleh 'ulama'-'ulama' mereka. Maka ramailah 'ulama'-'ulama' Ahli Sunnah bangkit menentang Syi'ah dengan menulis buku-buku untuk mendedahkan ajaran Syi'ah yang sebenar dan mematahkan hujjah-hujjah mereka. Boleh dikatakan tokoh-tokoh 'ulama' Islam di India keseluruhannyatelah menulis atau memperkatakan tentang ajaran Syi'ah ini melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah umum kerana hakikat Syi'ah tidak lagi tersembunyi kepada mereka.

Di sini saya akan menyenaraikan karangan-karangan 'ulama' Sunnah di benua kecil India bagi menentang Syi'ah Imamiyyah Ithna' Asyariyyah. Buku-buku yang akan disenaraikan ini telah ditulis pengarang- pengarangnya sebelum tercetusnya lagi Revolusi Iran pimpinan Khomeini. Jadi tidaklah wajar kita mengatakan mereka terpengaruh atau terpedaya dengan politik semasa.

BUKU-BUKU KRITIK TERHADAP SYI'AH OLEH 'ULAMA'-'ULAMA' SUNNAH INDIA SEBELUM REVOLUSI IRAN

Tokoh-tokoh 'ulama' Sunnah India yang telah tampil menulis tentang Syi'ah sebelum revolusi Iran adalah seperti berikut:-

1) Hujjatul Islam Maulana Muhammad Qasim an-Nanutwi, pengasas Darul Ulum Deoband (wafat 1297 H). Beliau telah menulis sebuah buku untuk menjawab tuduhan-tuduhan Syi'ah terhadap Ahli Sunnah di samping mendedahkan kekarutan ajaran mereka. Bukunya bernama

"Hadiyyatu Asy-Syi 'ah ".

2) Faqihu an-Nafs Maulana Rashid Ahmad Gangguhi (wafat 1323 H) pengarang kitab "Lami 'u Ad-Darari Syarah Shahih Al-Bukhari "(10 Jilid) telah menulis sebuah buku untuk mengkritik Syi'ah bernama

"Hidayatu As-Syi 'ah ".

3) Syeikh Khalil Ahmad as-Saharanpuri (wafat 1346 H) pengarang kitab "Bazlul Majhud Syarah Sunan Abu Daud" (20 jilid) telah menulis dua buah kitab bagi menjawab persoalan Syi'ah dan mendedahkan kekufuran mereka iaitu "Mithraqatu Al-Karamah 'Ala Mirati Al- Imamah" dan "As-Su 'al 'An Jami7 'ulama' As-syi'ah".

4) Syah Abdul Aziz yang digelarkan Musnadul Hind (wafat 1239 H) telah menulis sebuah kitab bagi menjelaskan kekarutan Syi'ah bernama "Tuhfah Ithna 'Asyariyyah".

5) As-Syeikh al-'Allamah Muhammad bin Ahmadullah at-Thanwi (wafat 1296 H) juga pernah menulis sebuah kritik terhadap fahaman Syi'ah bernama Tafdhilu Al-Khatanain.

6) Maulana Ihtishamuddin Muradabadi menulis buku bernama Nashihatu Asy-Syi 'ah.

7) Maulana Abdul Syakur yang dianggap sebagai Imam Ahli Sunnah di India telah menulis beberapa buah kitab tentang Syi'ah:-

(1) Tarikh Mazhab Syi'ah (Sejarah Ugama Syi'ah)

(2) Tuhfa-e Khilafah (Cenderamata Khilafah)

(3) Tuhfa-e Ehli Sunnat (Cenderamata dari Ahli Sunnah)

8) Asy-Syeikh al-Mufassir al-Qadhi Tsanaullah Panipati (wafat 1225 H), pengarang Tafsir Mazhari ( 10 jilid) telah menulis beberapa buah buku untuk menolak ajaran Syi'ah, antara lain:-

i) As-Saifu Al-Maslul

ii) Risalah Fi Hurmati Al-Mut 'ah

9) Nawaab Muhsinul Mulk (wafat 1325 H) seorang mujtahid Syi'ah yang telah meninggalkan ajaran Syi'ah dan menjadi Ahli Sunnah telah menulis sebuah buku untuk membongkar kekarutan ajaran Syi'ah bernama Aayat Bayyinat (2 jilid).

10 Dan lain-lain lagi.

Khamis, 10 Februari 2011

Kenapa ulama dan umat bingung menghukum kafirnya syiah?

Mulai sekarang saya akan menerbitkan secara bersiri buku “ Syi’ah Rafidhah ; Di antara kecuaian ulama dan kebingungan ummah” karangan Maulana Asri Yusoff

Siri 4: 

KITAB-KITAB TERPENTING SYI'AH DISEMBUNYIKAN

Walaupun 'ulama'-'ulama' kita dahulu tidak menemui kitab-kitab terpenting Syi'ah seperti Tafsir Al-Qummi, Hayatu Al-Qulub, Al-Kafi dan Awa'ilu Al-Maqalat, dan mereka hanya menemui kitab-kitab yang kedudukannya tidak setinggi kitab Al-Kafi dan kitab-kitab yang tersebut di atas, namun begitu berdasarkan sebuah dua kitab yang ditemui, mereka telah menulis berjilid-jilid kitab untuk menjawab tuduhan yang ditaburkan oleh golongan Syi'ah di dalam buku-buku tersebut. Umpamanya al-Imam Ibn Taimiyyah telah menulis kitab Minhaju As-Sunnah (sebanyak 4 jilid) semata-mata untuk menjawab sebuah buku Syi'ah yang telah sampai ke tangan beliau iaitu Minhaju Al-Karamah.
Daripada tulisan-tulisan beliau dan juga tulisan-tulisan 'ulama' lain sebelum dan selepas beliau, kita dapat mengesan bahawa kitab-kitab penting Syi'ah tidak sampai ke tangan mereka. Walaupun begitu berdasarkan beberapa buah buku Syi'ah dan fahaman-fahaman Syi'ah yang disebarkan dengan cara yang lain secara diam-diam, mereka tidak teragak- agak untuk mengkafirkan Syi'ah Imamiyyah.
BUKU-BUKU KRITIK TERHADAP SYI'AH TULISAN 'ULAMA' DAHULU
Para 'ulama' Islam dahulu bukan sahaja mengkritik Syi'ah secara lisan malah mereka telah membuktikan ketidaksetujuan terhadap Syi'ah melalui tulisan-tulisan yang mengkritik Syi'ah secara khusus. Di antara 'ulama' Islam dahulu yang telah menulis kitab khusus bagi mengkritik Syi'ah bahkan mengkafirkannya, ialah:-
1.     Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah (wafat 728) dengan kitabnya Minhaju As-Sunnah An-Nabawiyyah. Di dalam kitab tersebut Imam Ibn Taimiyyah telah menulis bahawa ajaran Syi'ah Imamiyyah Ithna Asyariyyah adalah berasal daripada ciptaan orang-orang zindiq dan munafiqin yang telah dihukum oleh Sayyidina 'Ali bin Abi Talib r.a. semasa hayatnya. Di antara mereka ada yang telah dibakar oleh beliau, ada pula yang dihukum bunuh tetapi sempat mereka melarikan diri dari menerima hukuman tersebut dan ada pula yang diancam oleh beliau dengan hukuman sebat sebagaimana yang dapat diketahui daripada sejarah.

2.     Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911 H) di dalam kitabnya Miftahu Al-Jannah Fi Al-I'tishami Bi As-Sunnah.

3. Mirza Makhdum, pengarang kitab An-Nawaqidh. Kitab beliau ini telah diringkaskan oleh Syeikh Barzanji dan diberi nama kitab Nawaqidh Ar-Rawafidh.

4.     Syeikh 'Ali al-Hiiti, pengarang kitab As-Saifu Al-Baatir.

5.     Allamah Mahmud al-Alusi (wafat 1270 H) pengarang kitab Tafsir Ruhu Al-Ma'ani dengan kitabnya Al-Ajwibatu Al-'lraqiyyah Ala Al-As'ilati Al-Iraniyyah. Kitab kedua beliau ialah Nahju As- Salaptah Ila Mabahithi Al-Imamah. Kitab ketiga beliau tentang Syi'ah ialah Al-Ajwibatu Al-'lraqiyyah 'An Al-As'ilati Al- Lahoriyyah.

6. Syeikh al-Bandaniji dengan kitabnya Al-Ajwibah 'Ala Al-As 'ilati Al-Lahoriyyah.

7.   Syeikh 'Utsman bin Sanad dengan kitabnya As-Sharimu Al- Qirdhab Fi Nahri Man Sabba Akabira Al-Ashab (Pedang Yang Sangat Tajam Di Tengkuk Orang Yang Memaki Sahabat-Sahabat Agung)

8.     Syeikh 'Abdullah al-Baitusyi yang digelar"Sibawaih Yang Kedua" salah seorang tokoh 'ulama' Kurdi dengan kitabnya Hadiqatu As- Sara'ir dan syarahnya.

9. Syeikh Ibn Hajar al-Haitsami al-Makki (wafat 973 H) dengan kitabnya As-Shawa'iqu Al-Muhriqah Fi Ar-Raddi 'Ala Ahli Al- Bidai' Wa Az-Zandaqah (Petir Yang Membakar Golongan Ahli Bid'ah Dan Zindiq)

10. 'Allamah Mahmud Syukri al-Alusi (wafat 1924 M) cucunda kepada 'Allamah Mahmud al-Alusi pengarang kitab tafsir Ruhu Al-Ma 'ani telah menulis buku untuk mengkritik Syi'ah selain dari buku Mukhtasar Tuhfah Ithna 'Asyariyyah iaitu ringkasan kepada kitab Tuhfah Ithna 'Asyariyyah oleh Syah 'Abdul 'Azizad-Dihliwi. Beliau telah menulis buku-buku yang bernama:-
a.     Sa 'adatu Ad-Darain Fi Syarhi Haditsi Ath-Thaqalain
b. Sabbu Al- 'Azab 'Ala Man Sabba Al-Ashhab (Curahan Azab Ke Atas Orang Yang Memaki Sahabat)

11.             Syah Waliyyullah (wafat 1176 H) dengan bukunya:-
a.     Qurratu Al- 'Ainain Fi Tafdhili As-Syaikhain
b.     Izalatu Al-khafa’an Klilafati Al-Khulafa’
c.      Al-Majmu'atu As-Saniyyah

12. Syeikh Ahmad as-Sarhindi (wafat 1034 H) yang dikenali sebagai Mujaddid Alfi ath-Thani juga telah menulis sebuah risalah dalam bahasa Farsi bernama Raddi Rawaafidh.
Selain dari itu ada ramai lagi 'ulama'-'ulama' Islam yang telah mengangkat penanya untuk menentang dan memadamkan fitnah yang dinyalakan oleh Syi'ah di dalam masyarakat Islam dahulu.
Jika diperhatikan tulisan-tulisan 'ulama' Islam yang mengkritik Syi'ah atau menjawab soalan-soalan yang ditimbulkan oleh mereka melalui tulisan-tulisan mereka kita akan mendapati ia bermula lebih kurang pada abad ke-6H dan abad-abad selepasnya. Adapun pada abad-abad sebelumnya kitab-kitab Syi'ah itu langsung tersembunyi atau jika adapun terlalu sedikit dan tidak sempat sampai ke tangan semua 'ulama' Islam pada masa itu. Kerana itulah 'ulama'-'ulama'- Islam sebelumnya tidak menulis kitab khusus untuk menentang Syi'ah atau menjawab persoalan- persoalan yang ditimbulkan oleh mereka. Para 'ulama' Islam hanya mengeluarkan pendapat atau fatwa tentang orang-orang Syi'ah berdasarkan amalan dan perkataan mereka semata-mata atau mereka menghukum berdasarkan beberapa peribadi yang dianggap atau dikenali sebagai Syi'ah pada zaman masing-masing.
Ringkasnya golongan Syi'ah lebih menonjol di zaman ummat Islam berada dalam arus kejatuhan dan lebih menyatakan belangnya pada ketika ummat Islam terlalu lemah atau hilang langsung kekuasaan mereka termasuklah di zaman kita ini. Kerana itulah kalau dilihat di dalam sejarah umpamanya sejarah benua kecil India dan Iraq kita akan dapati terlalu banyak kitab-kitab Syi'ah disebarkan namun begitu kitab-kitab seperti,Al-Kafi Hayatu Al-Qulub, Majalisu Al-Muminin, Jila'u Al-'Uyun, Biharu AI-Anwar dan sebagainya tidak tersebar hatta ke zaman Syah Waliyyullah. Ia tersebar dan baru sampa ke tangan 'ulama' Islam selepas beliau iaitu di zaman  anakanda beliau Syah Abdul Aziz, seperti yang diceritakan oleh Maulana Manzur Nu'mani di dalam bukunya Revolusi Iran.
Kita sendiripun dapat mengesan bahawa kitab-kitab Syi'ah yang tersebut tadi tidak sampai ke tangan 'ulama'-'ulama' sebelum Syah Abdul Aziz kerana ketika mengkritik Syi'ah atau menjawab persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh Syi'ah, mereka tidak pernah menyebut nama-nama kitab-kitab yang tersebut tadi.

Rabu, 9 Februari 2011

Agama Syiah Mewajibkan Taqiyah


            Taqiyah (dissimulation) adalah satu prinsip yang diyakini oleh syiah Imamiyah.  Berpegang kepada taqiyah adalah wajib bagi setiap penganut Syiah.  Ianya adalah satu sikap yang menyembunyikan kebenaran yang (kononnya) jika didedahkan akan membawa kemusnahan diri atau agama seseorang Syiah.[28]  Pada mulanya taqiyah dilakukan kerana takut terjadinya penindasan dari pihak pemerintah.  Tetapi selanjutnya diamalkan untuk menipu, berbohong dan seterusnya untuk menghalalkan sesuatu yang haram atau sebaliknya.

Orang-orang Syiah akan menyamar sebagai Ahli Sunnah secara taqiyyah untuk memerangkap Ahli Sunnah yang kurang faham akan agama mereka.  Tujuannya supaya dapat dirosakkan fahaman, akidah dan amal ibadahnya.

Abu Ja'far berkata:
"Taqiyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku.  Dan tidak beragama bagi sesiapa yang tidak bertaqiyah".[29]
 
Abdullah berkata:
 
"Wahai Abu 'Umar!  Sesungguhnya sembilan persepuluh dari agama terletak pada taqiyyah, tidak beragama bagi sesiapa yang tidak bertaqiyyah pada segala sesuatu, kecuali arak dan menyapu sepatu".[30]
 
Diriwayatkan dari Ali bin Muhammad:
 
"Wahai Daud!  Sekiranya kamu mengatakan bahawa orang yang meninggalkan taqiyah sama seperti orang yang meninggalkan solat, maka sesungguhnya betullah kata-katamu itu".[31]
 
          Sebenarnya taqiyyah dalam agama Syiah adalah perbuatan nifak, pembuat nifak adalah seorang munafik.  Tidak ada hadis sahih yang menghalalkan taqiyah sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Syiah.  Si Munafik pula dilaknat Allah dan ditempat di neraka yang paling bawah (kerak neraka), maka Ahli Sunnah wal-Jamaah diharamkan dari bertaqiyah.